Selasa, 22 Mei 2018


Terbongkarnya sindikat Saracen yang diduga aktif menyebarkan berita bohong bernuansa SARA di media sosial berdasarkan pesanan, memang merupakan hal yang terorganisir, bukan semata aksi individu, kata pengamat.
Pakar teknologi informasi (IT), Ruby Alamsyah menyebutkan, keberhasilan polisi ini cukup besar dampaknya terhadap masyarakat
'Khususnya bagi mereka yang selama ini belum percaya bahwa penyebaran hoax itu ada yang mengorganisir,'' kata dia.
Rabu (23/8), Kepolisian Indonesia mengungkapkan penangkapan tiga pimpinan sindikat Saracen yang diduga berada di balik sejumlah berita bohong dan provokatif bernuansa SARA di media sosial.
Dari hasil penyelidikan forensik digital, terungkap sindikat ini menggunakan grup Facebook - di antaranya Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracennews.com untuk menggalang lebih dari 800.000 akun, kata polisi.
Selanjutnya pelaku mengunggah konten provokatif bernuansa SARA dengan mengikuti perkembangan tren di media sosial, kata polisi pula.
''Unggahan tersebut berupa kata-kata, narasi, maupun meme yang tampilannya mengarahkan opini pembaca untuk berpandangan negatif terhadap kelompok masyarakat lain,'' demikian siaran pers Tindak Pidana Siber Kepolisian RI yang diterima BBC Indonesia.
Modusnya, sindikat yang beraksi sejak November 2015 tersebut mengirimkan proposal kepada sejumlah pihak, kemudian menawarkan jasa penyebaran ujaran kebencian bernuansa SARA di media sosial.
Sindikat Saracen
Penyebar hoax bermuatan SARA?
800.000
Jumlah anggota grup di medos
·         58 SIM Card yang disita dari tiga tersangka
·         11 Akun email dan enam akun Facebook dimiliki oleh tersangka JAS.
·         6 Ponsel disita dari tiga tersangka
Polri
Reuters
''Dalam satu proposal yang kami temukan, kurang lebih setiap proposal nilainya puluhan juta,'' ujar Kasubdit di Direktorat Tindak Pindana Siber Bareskrim Polri, Kombes Irwan Anwar, seperti dikutip dari Detik.com.
Tiga tersangka yang ditangkap yakni MFT, 43, yang berperan membidangi media dan informasi situs Saracennews.com, SRN, 32, yang berperan sebagai koordinator grup wilayah, dan JAS, 32, yang berperan sebagai ketua.
Tersangka JAS diketahui memiliki kemampuan memulihkan akun media sosial anggotanya yang kena blokir.
''Dia juga memberi bantuan pembuatan berbagai akun, baik yang sifatnya real, semi-anonim, maupun anonim,'' kata polisi.

Untuk menyamarkan perbuatannya, JAS sering berganti nomor ponsel untuk membuat akun surel maupun Facebook. Total, dia memiliki 11 akun surel dan enam akun Facebook yang digunakan untuk membuat grup di media sosial maupun mengambil alih akun milik orang lain.
Saracen tiga kali dilaporkan ke polisi, yakni pada 20 Juli, 4 Agustus, dan 7 Agustus.
Dari tersangka JAS, polisi menyita barang bukti 50 kartu sim berbagai operator, lima hardisk CPU dan satu harddisk komputer jinjing, empat ponsel, lima flashdisk, dan dua kartu memori. Sedangkan dari dua tersangka lain disita antara lain ponsel, kartu memori, flash disk, komputer jinjing, dan harddisk.
Terhadap dua tersangka, yakni MFT dan SRN, disangkakan Pasal 45A ayat 2 jo pasal 28 ayat 2 UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU ITE dengan ancaman enam tahun penjara dan atau pasal 45 ayat 3 jo pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman empat tahun penjara.
Sedangkan kepada tersangka JAS dipersangkakan tindak pidana akses ilegal Pasal 46 ayat 2 jo pasal 30 ayat 2 dan atau pasal 46 ayat 1 jo pasal 30 ayat 1 UU ITE nomor 11 tahun 2008 dengan ancaman tujuh tahun penjara.
Saat ini penyidik masih terus mendalami berbagai surel, akun Facebook, para admin dalam jaringan grup Saracen yang masih aktif melakukan ujaran kebencian.
Reposting dan broadcasting
Pakar IT Ruby Alamsyah menyebut, pengungkapan sindikat ini menunjukkan bahwa banjir hoax, berita palsu, dan berbagai provokasi bernada kebencian dan prasangka SARA, tak semata merupakan tindakan dan prakarsa individu, melainkan sudah terorganisir rapi dan beraspek komersial.
''Jumlah 800.000 akun anggota yang dikelola Saracen itu menurut saya cukup fantastis kalau kita melihat dia akan melakukan reposting dan broadcasting kembali kepada pengguna media sosial yang lain. Tidak cuma di Facebook.''
Ruby mengatakan, perilaku orang Indonesia di media sosial adalah melakukan reposting dan broadcasting. Seandainya 30% anggota grup Saracen melakukan dua hal tersebut terhadap berita bohong bernuansa SARA tadi, maka menurut dia efek perbanyakannya menjadi sangat besar.
Soal teknik yang digunakan sindikat Saracen, Ruby menilai yang dipakai hanya teknik media sosial. Baik yang tingkat menengah maupun lanjut.
''Mereka cuma menggunakan media sosial kemudian membuat forum yang sedemikian menarik sehingga mendapatkan banyak user,'' kata Ruby.
''Teknik social engineering advance yang mereka gunakan yaitu melakukan multiply effect, akhirnya dari 800.000 bisa sejutaan orang sekali beredar. Kelompok ini biasanya hadir karena ada kepentingan kelompok tertentu. Mereka disewa berdasarkan pesanan untuk menyebarkan kebencian,'' ujarnya.

Sumber: http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41022914

0 komentar:

Posting Komentar